Islam tidak pernah menyerukan sesuatu, kecuali didalamnya pasti mengandung jika kita berpegang teguh terhadapnya. Diantara sesuatu yang serukan Islam itu adalah lapang dada dan sabar dalam menghadapi segala persoalan. Allah SWt, berfirman. "Dan bersegeralah kamu menuju ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa. (yaitu) orang-orang yang menginfakkan hartanya dikala lapang dan susah, yang menahan amarah, yang memaafkan manusia, dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik."(QS. Ali Imran; 3:133-134)
Dalam surat yang lain Allah Swt, berfirman,"Tetapi orang-orang yang bersabar dan memaafkan sesuangguhnya yang demikian itu termasuk halhal yang diutamakan." (QS. As Syura; 42:43)
Dari Abu Hurairah- Semoga Allah meridhainya bahwa seorang laki-laki meminta kepada Rasulullah saw," Nasihatilah aku!" pintanya. Rasulullah saw mengatakan, "jangan marah" dan beliau mengulanginya hingga beberapa kali.
Ada beberapa prinsip, yang bila dipahami oleh para pendidik, niscaya ia akan memiliki kemampuan untuk mengendalikan diri dan berlapang dada dalam menghadapi berbagai permasalan anak. Prinsip-prinsip itu adalaj sebagai beriku:
1. Para meter yang berlaku di dunia anak berbeda dengan parameter dunia kita, yang telah kita peroleh selama puluhan tahun dalam hidup. Salah satu makna tarbiyah adalah meluruskan dan membersihkan perilaku. Sementara itu, perilaku tidak akan berubah begitu saja secara mekanistik. Perilaku akan menjadi baik manakala ilai-nilai yang dimilikinya mampu mengendalikannya secara baik. Oleh karena itu, cara yang benar dalam meluruskan perilaku anak adalah dimulai dengan cara mendekatkan anak kepada parameter dan nilai-nilai yang kita milki benar dan baik.
2. Kesalahan pada anak adalah hal yang lumrah. Tidak ada anak yang tidak melakukan kesalahan karena anak memang tengah melewati fase-fase perkembangan secara bertahap. Mereka melakukan eksplorasi terhadap alam dan sekitarnya. Mereka ingin meniru dunia orang dewasa dengan segala kebaikan dan keburukannya. Mereka mencoba kemampuan inderawi dan otot-otot mereka, selalu tertarik dengan hal-hal baru, tetapi nalarnya belum mampu memahami kebenaran niali-nilai sebagaimana yang kita pahami. Mereka masih sangat rentan terhadap segala pengaruh luar yang sebagiannya posotif dan sebagian lainnya negatif. Mereka belum mengetahui awal dan akhir batas-batas kebebasannya. Oleh karena itu, mereka seringkali melakukan kesalahan. Jadi kesalaahan-kesalahan yang mereka lakukan adalah sesuatu yang wajar. Justru ketidaksabaran orangtuadalam menangani dan meluruskan kesalahan-kesalahan itu adalah kesalahan yang tidak dapat dibenarkan.
3. Permasalahan personal anak tidak mungkin diselesaikan dalam sehari semalam. Ia membutuhkan rentang waktu yang bisa panjang dan bisa pula pendek, tergantung pada kepribadian, kondisi, dan lingkungan si anak. Hanyalah sebuah mimpi bila ada orangtua yang beranggapan bahwa ia dapat menghentikan kebiasaan anak menghisap jari, berkata-kata kotor, berkecenderungan merusak, egois, syka berdusta, atau sering merebut milik orang lain-dengan tamparan. Urusan itu menuntut lebih besar dari sekadar solusi terburu-buru, reaktif dan enteng. Untuk mengatasinya diperlukan program bertahap antara imbalan dan hukuman, keteladan dan nasehat, cegahan dan rasa cinta, motovasi & peringatan dalam rentang waktu yang panjang. Mungkin kita membutuhkan beberapa tahun untuk sekedar mengatasi anak yang suka ngompol.
Pemahaman para pendidik tentang ketiga prinsip tersebut dapat mengantarkan mereka untuk menjadi lebih mampu mengendalikan diri dan memiliki kesabaran dalam menyelesaikan berbagai persoalan dan kesalahan anak-anak mereka. Memang persoalan-persoalan dan kesalahan-kesalahan itu bisa membuat mereka stress dan menguras kesabaran. Adakalanya juga mereka harus melayangkan tamparan, tendangan, pukulan dan penghinaan dengan aneka bentuknya kepada anak-anak mereka sendiri atau anak-anak orang lain. Jangan heran kalau kemudian muncul penyakit-penyakit kejiwaan pada anak-anak. Alih-alih meluruskan perilaku mereka yang kacau, kita malah menambah kompleks persoalan dan menambah banyak kesalahan pada satu kesalahan. Oleh karena itu, cara yang paling aman dan lebih banyak manfaatnya adalah menghadapi persoalan dan kesalahan anak dengan siasat nafas panjang dan kemampuan mengendalikan emosi dan amarah.
Jika kitamampu memperlakukan anak dengan siasat ini, belajar menguasai emosi kita, niscaya kita akan mampu menghindari sejumlah cara-cara penanganan kasar perilaku buruk anak dalam keseharian kita.
Meskipun demikian, kebanyakan orangtua tidak melakukan hal itu terhadap anak-anak mereka. Sikap-sikap berikut ini menggambarkan sikap-sikap negatif yang sering diulang-ulang oleh para orangtua terhadap anak-anak mereka.
Seorang ibu berkata kepada Muhammad, anaknya,"hati-hati Muhammad, jusnya nanti tumpah!"
"tidak, tidak akan jatuh," jawab Muhammad
"kamu sudah pernah menjatuhkannya sebelum ini. Sekarang juga pasti jatuh. Ibu tahu bahwa itu akan terjadi karena kamu selalu menaruh gelas ditepi meja."
Ketegangan mulai terlihat jelas diwajah Muhammad. Ia pun berkata,"Ibu, tidak bisakah ibu membiarkan aku sendirian?"
Tidak lama kemudian, betul saja gelas berisi jus itu jatuh. Serta merta si ibu memarahinya dengan mengatakan," Nah, apa ibu bilang? gelas itu pasti jatuh. Apa kamu sengaja membuat ibu marah? sudah ibu peringatkan seribu kali agar kamu tidak menaruh gelas fitepi meja. Tapi kamu tidak dengar omongan ibu. Bangun dan bersihkan tumpahannya, sekarang!
Jika menganalisis sikap sang ibu terhadap anaknya itu, kita akan menemukan bahwa si ibu tidak mencoba belajar untuk mengendalikan sikapnya. Meskipun mungkin si ibu tidak bermaksud membuat ketegangan, sikapnya itu telah nyata-nyata menimbulkan ketegangan. Jadi, saat mengatakan kepada anaknya,"hati-hati Muhammad, jusnya nanti tumpah!" seolah-olah ia mendorong anaknya untuk untuk membela diri dengan mengatakan,"tidak, saya tidak akan lakukan itu."Kemudian, saatsi ibu mengatakan,"aku tahu bahwa hal itu akan terjadi karena kamu selalu menaruh gelas ditepi meja,"sesungguhnya dengan kalimat itu, ia telah menumbangkan rasa percaya diri anaknya. Seolah-olah si anak tidak memiliki kemampuan untuk melakukan secara benar.
Jadi, kata-kata sang ibu kepada anaknya tidaklah mendorong dirinya untuk memperbaiki perilakunya dengan menjauhkan gelas dari tepi meja, tetapi justru memancing amarahnya. Si anak juga membantah ibunya dengan mengatakan,"ibu, tidak bisakah ibu membiarkan sku sendirian?"
Jika saja si ibu belajar bagaimana menyikapi anak dengan cara yang bijaksana dan seimbang, niscaya ia akan menemukan perubahan positif secara bertahap dalam perilaku anaknya. Apalagi bila si ibu berhasil meninggalkan cara-cara mengkritik yang tidak membangun dan hanya memancing emosi kekesalan.
Tentu saja hal itu menuntut setiap orangtua untuk belajar mengusai syaraf-syarafnya dan berfikir tentang yang akan ia ucapkan kepada anaknya sebelum kata-kata meluncur dari mulutnya. Seorang ibu yang pernah mengikuti pertemuan-pertemuan di Eropa yang memberikan bimbingan kepada para orangtua, mengatakan," Hubungan saya dengan anak saya berubah menjadi tenang dan menyenangkan karena saya belajar bagaimana mengontrol perilaku merekan dengan kesabaran, dan latihan. Saya berusaha memantau dan mengendalikan reaksi-reaksi spontan saya dengan cara memikirkan apa yang saya ingin mereka lakukan sebelum saya berbicara kepada mereka. Secara bertahap saya mencoba menumbuhkan kemampuan mereka dengan cara lain yang terefleksikan dalam kehidupan keluarga kami. sehingga sikap-sikap saya kepada mereka diliputi ketenangan. Meskipun pada saat-saat tertentu saya hanya mencapai keberhasilan sepuluh persen saja dengan menggunakan cara tersebut.
Tidak diragukan lagi bahwa menyikapi anak dengan sikap yang dewasa, sabar, lemah lembut, tenang, penuh maaf dan menahan marah, TELAH TERBUKTI berdasarkan pengalaman keseharian kita memiliki manfaat yang besar dalam membangun kepribadian yang seimbang pada anak untuk jangka waktu yang panjang. Inilah yang perlu kita sadari secara mendalam. Setiap perilaku kita kepada anak haruslah memiliki tujuan. Tentu saja tujuannya bukan untuk melampiaskan amarah kita. Tujuan perilaku kita terhadap anak adalah ia kelak memiliki kepribadian yang baik.
Ketiadaan perilaku edukatif yang Islami dalam menyikapi mereka dan adanya perilaku buruk seperti marah, membentak, reaktif dan menyakiti, cukup menumbuhkan sikap apriori, membangkang, prustasi, permusuhan, tertutup, pasif, dengki dll pada jiwa anak. Hal itu juga mampu mengubur- untuk tidak bangkit lagi-kecenderungannya untuk berpetualang, melakukan penelitian dan berinisiatif bahkan bisa lebih buruk dan fatal lagi.
Itu sama sekali tidak berarti bahwa kita harus membiarkan anak lepas kendali. Dalam setiap pengulangan kesalahan yang yang dia lakukan dan dalam hal yang menjadi tanggung jawabnya, kita harus menunjukkan bahwa kita tidak suka dan tidak dapat menerima perilaku yang baik itu. Hanya saja, hal itu harus dilakukan dengan tegas, tetapi tidak keras disertai dengan penjelasan tentang kesalahan yang dilakukannya itu. Tunjukan pula cara yang baik, kemudian mintalah dia berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan itu.